BENTUK GEOMORFOLOGI DASAR LAUT PADA
TEPIAN LEMPENG AKTIF DI LEPAS PANTAI BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA, INDONESIA
A. TATANAN GEOLOGI KELAUTAN
INDONESIA
Tatanan
geologi kelautan Indonesia merupakan bagian yang sangat unik dalam tatanan
kelautan dunia, karena berada pada pertemuan paling tidak tiga lempeng tektonik:
Lempeng Samudera Pasifik, Lempeng Benua Australia-Lempeng Samudera India serta
Lempeng Benua Asia.
Berdasarkan
karakteristik geologi dan kedudukan fisiografi regional, wilayah laut Indonesia
dibagi menjadi zona dalam (inboard) dan luar (outboard) yang menempati regim
zona tambahan (contiguous), Zona Ekonomi Eksklusif dan Landan Kontinen. Bagian
barat zona dalam ditempati oleh Paparan Sunda (Sunda Shelf) yang merupakan
sub-sistem dari lempeng benua Eurasia, dicirikan oleh kedalaman dasar laut
maksimum 200 m yang terletak pada bagian dalam gugusan pulau-pulau utama yaitu
Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (menurut Toponim internasional seharusnya
disebut pulau Borneo).
Bagian
tengah zona dalam merupakan zona transisi dari sistem paparan bagian barat dan
sistim laut dalam di bagian timur. Kedalaman laut pada zona transisi ini
mencapai lebih dari 3.000 meter yaitu laut Bali, Laut Flores dan Selat Makasar.
Bagian paling timur zona dalam adalah zona sistem laut Banda yang merupakan
cekungan tepian (marginal basin) dicirikan oleh kedalaman laut yang mencapai
lebih dari 6.000 m dan adanya beberapa keratan daratan (landmass sliver) yang
berasal dari tepian benua Australia (Australian continental margin) seperti
pulau Timor dan Wetar (Curray et al, 1982, Katili, 2008).
Zona
bagian luar ditempati oleh sistem Samudera Hindia, Laut Pasifik, Laut Timor,
laut Arafura, laut Filipina Barat, laut Sulawesi dan laut Cina Selatan. Menurut
Hamilton (1979), kerumitan dari tatanan fisiografi dan geologi wilayah laut
Nusantara ini disebabkan oleh adanya interaksi lempeng-lempeng kerak bumi
Eurasia (utara), Hindia-Australia (selatan), Pasifik-Filipina Barat (timur) dan
Laut Sulawesi (utara).
Proses
geodinamika global (More et al, 1980), selanjutnya berperan dalam membentuk
tatanan tepian pulau-pulau Nusantara tipe konvergen aktif (Indonesia maritime
continental active margin), dimana bagian luar Nusantara merupakan perwujudan
dari zona penunjaman (subduksi) dan atau tumbukan (kolisi) terhadap bagian
dalam Nusantara, yang akhirnya membentuk fisiografi perairan Indonesia (Gambar
1).
Gambar
1. Fisiografi perairan Indonesia akibat proses tektonik
B. MODEL TEKTONIK TEPIAN
LEMPENG AKTIF
Lempeng
samudera bergerak menunjam lempeng benua membentuk zona penunjaman aktif,
sehingga wilayah perairan Indonesia di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa
disamping mempunyai potensi aspek geologi dan sumberdaya mineral juga
berpotensi terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami, longsoran pantai dan
gawir laut).
Di
bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang disebut
Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan dibagian timurnya atau
sebalah barat terbentuk jalur punggungan lurus utara – selatan yang disebut
Ninety East Ridge (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur)
merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Bagian yang dalam membentuk
cekungan kerak samudera yang terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran
India membentuk Bengal Fan hingga ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen
antara 2.000 – 3.000 meter (Ginco, 1999). Daerah Pematang Tengah Samudra pada
Lempeng Indo-Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading
(Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir dengan
kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5 cm/tahun (Katili,
2008).
Gambar 2. Memperlihatkan bentuk ideal geomorfologi pada tepian lempeng aktif adalah mengikuti proses-proses penunjaman yaitu palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al, 2007).
Gambar 2. Memperlihatkan bentuk ideal geomorfologi pada tepian lempeng aktif adalah mengikuti proses-proses penunjaman yaitu palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al, 2007).
Hasil
identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra seabeam
dan foto dasar laut maka dapat dikenali beberapa bentuk geomorfologi utama yang
umum terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif. Empat bentuk morfologi utama
dapat diidentifikasi, yaitu zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan
cekungan busur muka. Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan
merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik di dunia karena
batas-batasnya yang jelas dan mudah dikenali.
III. SATUAN GEOMORFOLOGI TEPIAN
LEMPENG AKTIF
1. Geomorfologi Zona Subduksi
Lempeng
Samudera India merupakan kerak yang tipis yang ditutupi laut dengan kedalaman
antara 1.000 – 5.000 meter. Lempeng Samudera dan lempeng benua (Continental
Crust) dipisahkan oleh Subduction Zone (Zona Penunjaman) dengan kedalaman
antara 6.000-7.000 meter yang membujur dari barat Sumatera, selatan Jawa hingga
Laut Banda bagian barat yang disebut Java Trench (Parit Jawa).
Geomorfologi zona subduksi ini merupakan gabungan yang erat antara proses-proses yang terjadi pada tepian kerak samudera, tepian kerak benua dan proses penunjaman itu sendiri. Sebagai konsekuansi dari tepian aktif, maka banyak proses tektonik yang mungkin terjadi diantaranya, sesar-sesar mendatar, sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan graben, serta kemunginan aktivitas gunung api (hot spot?). Salah satu diantaranya adalah terbentuknya gunungapi (submarine volcano atau seamount?) di luar busur volkanik. Indikasi adanya gunungapi atau tinggian seperti yang ditemukan Tim ekspedisi CGG Veritas (BPPT-LIPI-PPPGL-Berlin University) pada bulan Mei 2009 yang lalu sebenarnya bukan merupakan gunungapi baru. Beberapa peta batimetri dan citra satelit telah mencantumkan adanya tinggian tersebut, hanya sampai saat ini belum diberikan nama resmi (toponimi) yang tepat (PPPGL, 2008).
Lintasan survei deep-seismic CGGV-04 telah mendeteksi adanya puncak gunung bawah laut pada posisi koordinat 4°21.758 LU, 99°25,002 BT. Puncak gunung bawah laut ini berada pada kedalaman 1.285 m dengan dasar atau kaki gunung pada kedalaman 5.902 m. Hasil interpretasi data memperlihatkan bahwa gunung bawah laut ini memiliki ketinggian 4.617 m dan Lebar kaki gunung sekitar 50 km. Lokasi gunung bawah laut yang terdeteksi ini berada pada jarak 320 km sebelah barat dari Kota Bengkulu (Gambar 3). Namun demikian, berdasarkan konsepsi tektonik, gunungapi di Lantai Samudera tidak seberbahaya dibandingkan gunungapi yang terbentuk di tepian benua aktif.
Geomorfologi zona subduksi ini merupakan gabungan yang erat antara proses-proses yang terjadi pada tepian kerak samudera, tepian kerak benua dan proses penunjaman itu sendiri. Sebagai konsekuansi dari tepian aktif, maka banyak proses tektonik yang mungkin terjadi diantaranya, sesar-sesar mendatar, sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan graben, serta kemunginan aktivitas gunung api (hot spot?). Salah satu diantaranya adalah terbentuknya gunungapi (submarine volcano atau seamount?) di luar busur volkanik. Indikasi adanya gunungapi atau tinggian seperti yang ditemukan Tim ekspedisi CGG Veritas (BPPT-LIPI-PPPGL-Berlin University) pada bulan Mei 2009 yang lalu sebenarnya bukan merupakan gunungapi baru. Beberapa peta batimetri dan citra satelit telah mencantumkan adanya tinggian tersebut, hanya sampai saat ini belum diberikan nama resmi (toponimi) yang tepat (PPPGL, 2008).
Lintasan survei deep-seismic CGGV-04 telah mendeteksi adanya puncak gunung bawah laut pada posisi koordinat 4°21.758 LU, 99°25,002 BT. Puncak gunung bawah laut ini berada pada kedalaman 1.285 m dengan dasar atau kaki gunung pada kedalaman 5.902 m. Hasil interpretasi data memperlihatkan bahwa gunung bawah laut ini memiliki ketinggian 4.617 m dan Lebar kaki gunung sekitar 50 km. Lokasi gunung bawah laut yang terdeteksi ini berada pada jarak 320 km sebelah barat dari Kota Bengkulu (Gambar 3). Namun demikian, berdasarkan konsepsi tektonik, gunungapi di Lantai Samudera tidak seberbahaya dibandingkan gunungapi yang terbentuk di tepian benua aktif.
Gambar
3. Gambaran geomorfologi pada zona subduksi dan kenampakan seamount
di kerak samudera India, sumbu palung laut dan prisma akresi di lepas
pantai Bengkulu.
2. Geomorfologi
Palung Laut
Palung
laut merupakan bentuk paritan memanjang dengan kedalaman mencapai lebih dari
6.500 meter. Umumnya palung laut ini merupakan batas antara kerak samudera
India dengan tepian benua Eurasia sebagai bentuk penunjaman yang menghasilkan
celah memanjang tegak lurus terhadap arah penunjaman (Gambar 4).
Gambar
4. Satuan geomorfologi palung samudra di sebelah selatan Jawa (PPPGL, 2008).
Beberapa
patahan yang muncul di sekitar palung laut ini dapat reaktif kembali seperti
yang diperlihatkan oleh hasil plot pusat-pusat gempa di sepanjang lepas pantai
pulau Sumatera dan Jawa. Sesar mendatar Mentawai yang ditemukan pada Ekspedisi
Mentawai Indonesia-Prancis tahun 1990-an terindikasi sebagai sesar mendatar
yang berpasangan namun di berarapa bagian memperihatkan bentuk sesar naik. Hal
ini merupakan salah satu sebab makin meningkatnya tekanan kompresif dan
seismisitas yang menimbulkan kegempaan.
Di
bagian barat pulau Sumatera, pergerakan lempeng samudera India mengalibatkan
terangkatnya sedimen (seabed) di kerak samudera dan prisma-prisma akresi yang
merupakan bagian terluar dari kontinen. Sesar-sesar normal yang terbentuk di
daerah bagian dalam yang memisahkan prisma akresi dengan busur kepulauan
(island arc) mengakibatkan peningkatan pasokan sedimen yang lebih besar (Lubis
et al, 2007). Demikian pula akibat terjadinya pengangkatan tersebut maka
morfologi palung laut di kawasan ini memperlihatkan bentuk lereng yang terjal
dan sempit dibandingkan dengan palung yang terbentuk di kawasan timur
Indonesia.
3. Geomorfologi
Prisma Akresi
Pembentukan
prisma akresi di dasar laut dikontrol oleh aktifitas tektonik sesar-sesar naik
(thrusting) yang mengakibatkan proses pengangkatan (uplifting). Proses ini
terjadi karena konsekuensi dari proses tumbukan antar segmen kontinen yang
menyebabkan bagian tepian lempeng daerah tumbukan tersebut mengalami proses
pengangkatan. Proses ini umumnya terjadi di kawasan barat Indonesia yaitu di
samudra Hindia.
Pulau-pulau
prisma akresi merupakan prisma akresi yang terangkat sampai ke permukaan laut
sebagai konsekuensi desakan lempeng Samudera Hindia ke arah utara dengan
kecepatan 6-7 cm/tahun terhadap lempeng Benua Asia-Eropa sebagai benua pasif
menerima tekanan (Hamilton, 1979). Oleh sebab itulah pengangkatan dan
sesar-sesar naik di beberapa tempat, seperti yang terjadi di Kep. Mentawai,
Enggano, Nias, sampai Simelueu yang terangkat membentuk gugusan pulau-pulau
memanjang parallel terhadap arah zona subduksi (Lubis, 2009). Gambar 5.
memperlihatkan prisma akresi yang naik ke permukaan laut membentuk pulau-pulau
prisma akresi di lepas pantai Aceh, sedangkan contoh prisma akresi yang belum
naik ke permukaan laut diperlihatkan pada Gambar 6. yaitu prisma akresi di
lepas pantai selatan Jawa. Selain itu proses pembentukan lainnya yang lazim
terjadi di kawasan ini adalah aktifnya patahan (sesar) dan amblasan
(subsidensi) di sekitar pantai sehingga pulau-pulau akresi yang terbentuk
terpisah dari daratan utamanya (Cruise Report SO00-2, 2009).
Prisma
akresi merupakan wilayah yang paling rawan terhadap kegempaan karena
pusat-pusat gempa berada di bawahnya. Batuan prisma akresi memiliki ke-khasan
tersendiri yaitu ditemukannya batuan campur-aduk (melange, ofiolit) yang
umumnya berupa batuan Skist berumur muda. Sejarah kegempaan di kawasan ini
membuktikan bahwa episentrum gempa-gempa kuat umumnya terletak pada prisma
akresi ini karena merupakan gempa dangkal (kedalaman < 30 Km). Gempa kuat
yang pernah tercatat mencapai skala 9 Richter pada tagl 26 Desember 2004.
Beberapa ahli geologi juga masih mengkhawatirkan suatu saat akan terulang gempa
sebesar ini di kawasan barat Bengkulu, karena prisma akresi di kawasan ini
masih belum melepaskan energi kegempaan (locked zone) sementara kawasan
disekitarnya sudah terpicu dan melepaskan energi melalui serangkaian
gempa-gempa sedang-kuat.
Di
Sumatera ditemukan dua prisma akresi, yaitu accretionary wedge 1 di bagian luar
& accretionary wedge 2 di bagian dalam outer arc high yang memisahkan
prisma akresi dengan cekungan busur muka (Mentawai forearc asin). Adanya
outer arc high yang memisahkan dua prisma akresi tersebut mengalibatkan sedimen
yang berasal dari daratan induknya tidak dapat menerus ke bagian barat
tetapi terendapkan di cekungan busur muka.
Gambar
5. Geomorfologi prisma akresi yang naik kepermukaan sebagai pulau prisma akresi
di lepas pantai sebelah barat Aceh.
4. Geomorfologi
Cekungan Busur Muka
Survey kemitraan Indonesia-Jerman Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II dilaksanakan pada tahun 2006 di perairan barat Aceh sampai ke wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil. Hasil interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong cekungan Simeulue yaitu lintasan 135-139 memperlihatkan indikasi cekungan busur muka Simelue merupakan cekungan a-symetri laut dalam dengan kedalaman laut antara 1.000-1.500m, makin ke barat ketebalan sedimen makin tebal mencapai 5.000m lebih.
Survey kemitraan Indonesia-Jerman Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II dilaksanakan pada tahun 2006 di perairan barat Aceh sampai ke wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil. Hasil interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong cekungan Simeulue yaitu lintasan 135-139 memperlihatkan indikasi cekungan busur muka Simelue merupakan cekungan a-symetri laut dalam dengan kedalaman laut antara 1.000-1.500m, makin ke barat ketebalan sedimen makin tebal mencapai 5.000m lebih.
Di
sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar mendatar (kelanjutan Sesar
Mentawai?) yang mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault)
sehingga mengakibatkan deformasi struktur batuan sedimen pada tepian cekungan.
Berdasarkan
seismik stratigrafi, umur sedimen pengisi cekungan ini relatif muda (Miocene)
sehingga kurang memungkinkan terjadi pematangan sebagai source rock (IPA, 2002).
Selain itu, tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoar relatif rendah
karena laju pengendapan yg relatif cepat di laut dalam, demikian pula dengan
pengaruh proses pematangan diagenesa volkanisme di bagian timur yang jaraknya
terlalu jauh.
Salah
satu contoh terbaik terbentuknya cekungan busur muka adalah cekungan Lombok
yang telah teridentifikasi memiliki komponen toponimi yang lengkap, seperti
koordinat (x,y,z), batas-batas cekungan, luas, kedalaman, dsb. (Gambar 7).
Gambar
7. Geomorfologi cekungan Lombok sebagai cekungan busur muka (PPPGL, 2008)
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil re-interpretasi rekaman seismic, citra seabeam, serta data batimetrik
dari beberapa lintasan yang memotong zona subduksi pada system tektonik tepian
lempeng aktif, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan, diantaranya:
• Batas
penunjaman lempeng samudera India dengan lempeng Eurasia secara tegas membentuk
satuan geomorfologi palung samudera dengan kedalaman antara 6.000-7.000 meter
yang arahnya tegak lurus terhadap arah penunjaman.
• Sebagai
konsekuensi logis penunjaman lempeng samudera yang mempunyai densitas lebih
tinggi dibandingkan lempeng benua maka terbentuk satuan geomorfologi prisma
akresi yang merupakan proses campur-aduk dimana terjadi deformasi dasar laut
secara besar-besaran. Proses geologi yang umum terjadi adalah perlipatandan
sesar-sesar naik yang disertai dengan proses pengangkatan. Sesar-sesar normal
dan mendatar banyak dijumpai pada daerah yang jauh dari palung samudera
terutama pada punggungan dan tepian cekungan.
• Cekungan
busur muka terbentuk antara punggungan busur muka dan busur gunungapi dimana
proses sedimentasi dominan berasal dari bagian kontinen, sehingga umumnya
membentuk geomorfologi cekungan memanjang a-symetri.
• Gambaran
geomorfologi dasar laut di tepian lempeng aktif di barat Sumatera dan selatan
Jawa memperlihatkan batas satuan yang jelas dan tegas sehingga merupakan contoh
bentuk geomorfologi zona penunjaman yang terbaik di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Cruise Report SO200-2., 2009.
Subduction Zone Segmentation and Controls on Earthquake Rupture: The 2004 and
2005 Sumatera Earthquakes. National Oceanography Centre, Southampton
University, UK.
Curray, J.R., Emmel F.J., Moore
D.G., and Raitt R.W., 1982. Structure, Tectonics, and Geological History of the
Northeastern Indian Ocean. The Indian Ocean, The Ocean Basin and Magins, vol.
6.
GINCO-1, 1999. Geoscientific
Investigations on the Active Convergence Between the East Eurasian and
Indo-Australian Plates Along Indonesia, Cruise Report, Sonne Cruise So-137 (Unpublished).
Hamilton, W., 1979. Tectonics of the
Indonesian Region. US Government Printing Office, Washington DC.
IPA, 2002. Indonesia Basins, April 23, 2002 – EK, IPA Publication.
IPA, 2002. Indonesia Basins, April 23, 2002 – EK, IPA Publication.
Katili, J.A., 2008. Tectonics and
Resources: Collection og Geological Studies. Marine Geological Institute,
Bandung.
Lubis S, Hutagaol P.J., and
Salahuddin M, 2007. Tectonic Setting in the Vicinity of Subduction Zone off
West Sumatera and South Java. Proceeding APRU/AEARU Research Symposium 2007,
Jakarta.
Lubis, S., 2009. Pengelompokan Pulau
Pulau Kecil Indonesia: Kiprah Geologi Kelautan. PPPGL, Bandung.
Moore, G.F. and Karig, D.E., 1980.
Structural Geology of Nias Islands, Indonesia: Implication for Subduction Zone
Tectonic, Am. J.Sci. 280, p 193-223.
PPPGL, 2008. Toponim Map of the Underwater Features of Indonesian Water. Puslitbang Geologi Kelautan, Bandung.
Usman, E., 2006. Eksplorasi Mineral di Daerah Oceanic Crust: Peluang dan Tantangan Lembaga Riset Kelautan Nasional, Jurnal Mineral & Energi vol. 4, no. 3, Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Di Postingkan Oleh :
Arief_ geo06
GEOLOGI UNSOED
PPPGL, 2008. Toponim Map of the Underwater Features of Indonesian Water. Puslitbang Geologi Kelautan, Bandung.
Usman, E., 2006. Eksplorasi Mineral di Daerah Oceanic Crust: Peluang dan Tantangan Lembaga Riset Kelautan Nasional, Jurnal Mineral & Energi vol. 4, no. 3, Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar