STAY WITH ME

Halaman

Sabtu, 27 Maret 2010

GEOLOGI GOA LAWA - PURBALINGGA, JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN
Purbalingga sebagai daerah yang sebagian besar terbentuk dari susunan material vulkanik memiliki karakter batuan dan bentukan-bentukan vulkanik yang khas. Bentukan tersebut mencirikan proses yang terjadi selama pembentukan batuan. Salah satu yang menarik untuk diteliti adalah terbentuknya gua lava sebagai akibat proses aliran lava (lava flow) dari produk Gunung Slamet pada waktu yang lalu. Daerah tersebut dikenal oleh masyarakat Purbalingga sebagai wisata Gua Lawa, sebuah fenomena alam yang eksotik dan menarik untuk dikaji. Gua ini memiliki panjang 1.300 m pada ketinggian 900 m diatas permukaan laut. Seperti halnya gua-gua yang lain, Gua Lawa juga memiliki keunikan dan kekhasan, baik dari aspek geologinya maupun fisik-kimianya. Disamping itu, terdapat legenda tentang Gua Lawa yang berkembang di lingkungan masyarakat Gua Lawa merupakan jenis gua yang memiliki karakter tersendiri dan paling berbeda dengan gua yang umum kita jumpai. Gua pada umumnya terbentuk pada daerah dengan batuan utama berupa batuan sedimen yakni lebih khusus lagi hanya pada tubuh batu gamping atau batuan karbonat. Jenis batuan ini memiliki kadar kalsium karbonat yang tinggi. Secara sederhana gua di daerah batuan karbonat ini terbentuk karena larutnya material batu gamping dan meninggalkan jejaknya berupa rongga-rongga. Rongga-rongga ini bila kemudian saling berhubungan (connected) akan berkembang melebar dan memanjang akibat berlanjutnya pelarutan dan aliran air bawah tanah hingga akan terbentuklah gua-gua. Gua Lawa terbentuk bukan pada batuan karbonat atau batu gamping yang merupakan jenis batuan sediman seperti gua pada umumnya. Gua Lawa terbentuk pada batuan beku hasil erupsi volkanik. Batuan beku pembentuk Gua Lawa merupakan hasil pembekuan aliran lava.Lorong-lorong gua terbentuk lava bagian luarnya membeku terlebih dahulu, sedangkan bagian dalam lava tetap mengalir karena kemiringan lereng. Karakter Gua Lawa sebagai gua pada batuan beku ini tidak dijumpai pada daerah-daerah volkanik/gunung api lainnya di Jawa.
II. KONDISI LINGKUNGAN GUA LAWA 
2.1. Lokasi 
Lokasi wisata Gua Lawa dapat ditempuh dengan perjalanan sekitar ± 30 km kearah utara dari Purbalingga melalui kecamatan Bobotsari menuju kecamatan Karangreja. Wisata ini tepatnya terletak di Desa Siwarak, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Lokasi wisata dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat maupun roda dua dengan kondisi jalan yang sangat baik. 2.2. Kodisi Fisik dan Kimia Gua Lawa Gua Lawa ini berada pada ketinggian 900 m dpl dan memiliki panjang  1.300 m, terdiri atas beberapa tahapan pembekuan lava yang kondisinya berbeda sehingga membentuk ruangan-ruangan. Temperatur udara di dalam gua 18-200C, sedangkan temperatur air sungai Raden yang mengalir melewati gua berkisar 21 OC. Intensitas cahaya di dalam gua berkisar 1 - 2 lux. Di dalam gua juga telah dibangun jembatan dan dipasang beberapa lampu penerang sehingga meningkatkan intensitas cahaya di dalam gua. Kisaran intensitas cahaya dekat lampu meningkat menjadi 21 – 165 lux. Temperatur udara di dekat lampu penerang berkisar 25 OC. Warna air jernih, tidak berbau, kandungan oksigen terlarut sebesar 4,5 mg/liter dengan kondisi pH 6-7. 

III.KONDISI GEOLOGI GUA LAWA 
3.1. Geologi regional
Secara regional daerah wisata Gua Lawa terdiri dari formasi batuan lava Gunung Slamet (Qvls) yang terdiri dari lava andesit yang berongga dan penyebarannya di lereng timur Gunung Slamet (gambar 1). Batuan ini menumpang secara tidak selaras di atas Formasi Halang yang terdiri dari batupasir konglomerat tuffaan dan napal.
3.2. Stratigrafi dan litologi Gua Lawa
Secara stratigrafi, batuan penyusun tubuh Gua Lawa dan daerah sekitarnya berupa batuan beku andesit basaltik. Secara megaskopis (melalui pengamatan mata telanjang) dapat diamati dengan jelas berkembangnya struktur skoria. Struktur ini memperlihatkan adanya lubang-lubang bekas gelembung gas yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Kehadiran struktur ini menghasilkan porositas batuan yang tinggi. Batuan penyusun Gua Lawa secara umum tersusun atas mineral-mineral plagioklas dan gelas volkanik serta oksida besi yang mengisi bagian kecil rongga-rongga.
3.3. Struktur Geologi 
Struktur geologi yang dijumpai di Gua Lawa umumnya berupa kekar (retakan) yang dihasilkan oleh dua faktor utama yaitu struktur pendinginan dan struktur tektonik. Kekar hasil proses pendinginan lava murupakan retakan yang umum di Gua Lawa. Rekahan pendinginan magma yang taramati di Gua Lawa membentuk retakan-retakan vertikal yang tidak menerus Retakan-retakan verikal ini membentuk batuan menjadi blok-blok yang berukuran hingga beberapa meter. Retakan ini umumnya tidak menerus dan berukuran panjang 50 cm hingga beberapa meter. Retakan hasil proses pendinginan yang berdimensi vertikal ini umumnya membentuk celah yang rapat, sehingga walau batuan retak namun masih saling mengunci dan membentuk atap-atap gua yang kokoh da tidak mudah runtuh. Retakan-retakan horisontal umumnya merupakan batas antar tubuh lava tua. Retakan pendinginan horisontal kemungkinan memiliki kemenerusan yang tinggi. Retakan horisontal di Gua Lawa tampak lebih terbuka dibandingkan retakan vertikal. Terdapat pula struktur pendinginan yang tidak membentuk retakan namun membentuk alur-alur menyerupai lapisan pada batuan sedimen. Lapisan-lapisan ini terbentuk sebagai batas waktu pendinginan lava. Alur-alur ini terbentuk melingkari alur gua dan memanjang searah gua sejajar dengan arah aliran lava. Retakan-retakan sebagai hasil proses tektonikisme tidak banyak dijumpai di Gua Lawa. Retakan tektonik kompresif/tekanan yang umumnya membentuk retakan / kekar-kekar seperti gunting tidak dijumpai di dalam Gua Lawa. Retakan ekstensif/regangan masih dapat dijumpai berupa retakan vertikal yang memanjang dan terbuka hingga 4 cm. Retakan-retakan ini memiliki kemenerusan yang terbatas. Retakan-retakan tektonik ini sangat jarang dijumpai di Gua Lawa. Kekar (rekahan) baik sebagai hasil proses pendinginan magma maupun tektonik tidak berpengaruh pada pembentukan alur-alur gua secara umum. Retakan-retakan ini tidak membentuk rongga atau celah Gua baru, karena tidak terjadi pelarutan pada dinding retakan ini. Sehingga bentuk gua tetap sama dengan bentuk awal gua setelah magma cair terkuras keluar. Retakan di Gua Lawa perlu dipelajari lebih lanjut, hal ini karena retakan ini berpengaruh dalam runtuhnya dinding atas Gua dan terbentuknya koneksi vertikal dengan gua-gua di atas maupun di bawahnya. Balok-balok batu lepas yang dijumpai di bagian pintu masuk gua berukuran hingga beberapa meter besarnya merupakan hasil runtuhan atap gua. Runtuhan atap Gua juga sampai menghasilkan ventilasi-ventilasi Gua. Hal ini menyebabkan Gua tertutup dan terkotori oleh balok-balok batu runtuhan atap dan tanah atau lumpur yang masuk kemudian. Arah tubuh Gua Lawa sangat bervariasi, namun secara umum berarah utara barat laut-selatan tenggara (sekitar N 345O E) hingga timurlaut-barat daya (sekitar N 35O E). Arah-arah kekar/retakan batuan lebih bervariasi baik utara-selatan, barat-timur, baratlaut-tenggara maupun baratdaya-timur laut. Arah retakan tektonik lebih menunjukkan arah baratdaya-timurlaut. Pengamatan lapangan tentang arah umum gua tidak mengikuti arat-arah kekar.
3.4. Geomorfologi 
Bagian atas gua yang tampak di permukaan merupakan daerah miring landai hingga datar bergelombang. Secara lebih luas bersama daerah sekitarnya Gua Lawa berada pada daerah lereng pegunungan. Daerah ini merupakan sisi timur dari Gunung Slamet sekarang. Morfologi di mana kini Gua Lava berada kemungkinan tidak jauh berbeda dari morfologi awal pembentukan gua, dimana gua terbentuk di darat dengan kemiringan lereng yang tinggi. Suhu udara luar ketika pembentukan lava pembentuk gua kemungkinan juga cukup dingin hingga ketebalan magma yang membeku dipermukaan cukup tebal hingga terhindar dari keruntuhan. Kondisi ini dimungkinkan terbentuk pada daerah pengunungan dengan suhu udara yang relatif dingin.
3.5. Kondisi Hidrogeologi
Batuan lava penyusun Gua Lawa memiliki porositas yang tinggi. Dengan struktur skoria dimana lubang-lubangnya saling berhubungan memungkinkan untuk penyimpanan dan pengaliran air tanah. Aliran air di pemukaan lantai gua dan tetesan air dari atap gua dapat diamati pada musim hujan. Tubuh genangan air dapat dengan mudah teramati di dalam gua. Genangan air ini tetap terisi air walaupun di musin kemarau. Cebakan air bawah tanah yang tersimpan di dalam gua dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bagi masyarakat di musim kemarau. Kondisi hidrologi ini juga mempunyai dampak pada aliran lumpur yang mengotori dan menutup tubuh-tubuh alur gua yang berada di bagian bawah. Rembesan air juga menyebabkan proses pembentukan karbonat dari mineral plagioklas. Pembentukan lapisan-lapisan karbonat pada bagian kecil dinding gua dapat diamati di sekitar genangan air Sendang Derajat. Di beberapa bagian lapisan karbonat ini mencapai tebal 2 cm dan membentuk seperti mikro stalagtit. 3.6. Genesa Gua Lawa Magma yang keluar pada permukaan bumi bersifat encer, panas dan berpijar mengalir dari sumber erupsi volkanik. Magma ini mengalir dari sumbernya di permukaan bumi menuju bagian yang elevasinya lebih rendah. Akibat kontak antara magma dengan udara di permukaan, maka bagian tubuh magma yang berada di permukaan dan di bawahnya akan membeku terlebih dahulu dan berhenti mengalir. Bagian magma yang berada paling bawah dari tubuh aliran lava akan tetap cair, akibat panas yang masih tinggi. Dikontrol oleh morfologi purba, magma cair di bagian bawah ini akan terus mengalir menuju tempat-tempat dengan elevasi yang lebih rendah. Magma di bagian bawah yang masih mengalir ini meninggalkan bagian yang telah membeku di atasnya. Hilangnya bagian lava yang masih cair di bagian bawah ini meninggalkan rongga-rongga. Rongga-rongga ini merupakan saluran aliran lava pijar di bawah permukaan bumi dari sumber erupsinya menuju tempat-tempat yang secara elevasi lebih rendah. Pembentukan rongga-rongga baru dapat terus berlanjut pada aliran lava baru dari erupsi yang masih terus berlangsung di atas tubuh lava yang telah membeku. Tubuh aliran lava baru ini berkembang di atas gua-gua lain yang telah terbentuk di bawah. Bila hal ini berlangsung terus maka dapat dihasilkan beberapa tubuh gua yang tersusun secara vertikal. Arah pelelehan magma seperti pada gambar 2 di bawah ini, yaitu mengikuti morfologi purba pada formasi Halang.
IV. LEGENDA GUA LAWA 
Gua Lawa selain sebagai fenomena alam dengan karakteristik fisik dan proses yang khas, juga tersimpan kisah-kisah legenda di dalamnya. Kolaborasi antara karakter fisik dan legenda-legenda tokoh mencirikan Gua Lawa sebagai lokasi yang universal antara perilaku alam dan budaya. Bentuk-bentuk batuan dan ruang di dalam Gua Lawa menceritakan gambaran tokoh dan imajinasi mistis. Semua bagian tersebut mempunyai kisah legenda tersendiri. Memang kadang sulit untuk mengkaitkan kronologi budaya dalam legenda tersebut, tetapi bagaimanapun legenda sudah menunjukkan bahwa Gua Lawa sebagai warisan alam sudah mendapat perhatian dan sentuhan dari manusia. Seperti terdapatnya Gua Dada Lawa, yang sangat mirip dengan dada kelelawar (tubuh bagian ventral) yang sedang membentangkan sayapnya. Ditempat ini dulu merupakan tempat sarang kelelawar, bagaimana ilmu pengetahuan menguraikan antara karakter fisik batuan dengan karakter ekosistem di dalam Gua Dada Lawa ini? Apakah memang ada keterkaitan antara habitat kelelawar dengan fenomena fisik batuan lava yang mirip dada lawa? Cerita yang lain seperti adanya Gua Ratu Ayu, konon kabarnya didalam Gua itu ada dua orang wanita cantik yang bernama Endang Murdaningsih dan Endang Murdaningrum. Kedua puteri cantik itu mempunyai tiga ekor binatang kesayangan, berupa tiga ekor harimau. Kemudian di ruangan lain terdapat Sendang Derajat yang dikisahkan dapat menyebabkan awet muda bagi yang membasuh muka dengan air sendang tersebut. Kemudian ditempat lain ada batu keris dan Gua Pertapaan yang digunakan untuk bersemedi bagi yang ingin mendapat kekuatan. Setelah itu terdapat Gua Langgar yang didalamnya ada tempat pengimaman yang menghadap ke arah Kiblat. Gua ini dikisahkan sebagai tempat bersembahyang para wali waktu penyebaran agama Islam. Di tempat lain juga terdapat Gua Cepet, yang diyakini masyarakat sebagai tempat berkumpulnya makluk halus. Gua ini konon sering menyesatkan orang sehingga sulit keluar. Demikian kisah legenda-legenda dari ruangan dan bentuk batu di Gua Lawa, kesemuanya merupakan bagian tersendiri dan tidak terkait satu dengan yang lainnya. Tetapi dari pengkajian geowisata, Gua Lawa adalah merupakan kolaborasi antara wisata yang mampu memiliki daya tarik keilmuan, budaya masyarakat dan keagamaan. Keterangan Gambar :
DAFTAR PUSTAKA
Anonim., 2004,” Potensi Pariwisata Kabupaten Purbalingga”, Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Purbalingga Anonim., 2006, ” Profil Wisata Kabupaten Purbalingga”, Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Purbalingga Djuri, M.,dkk., 1996 ”Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa” Pusat Pengembangan dan Penelitian geologi Flint, R.F and Skinner, B.J., 1974 ” Physical Geology”, John Wiley and Sons Samodra, H., 2001, ”Nilai Strategis Kawasan Karts di Indonesia, Pengelolaan dan Perlindungannya”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Badan Penelitiandan Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung, Indonesia. Suyatno, A., 2001, ”Kelelawar di Indonesia”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI, Balai Penelitian Botani Herbarium Bogoriense, Bogor, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar